Rabu, 24 Juni 2009

Bunda Pejuang untuk Keluarga

Jaman ekonomi sulit di awal tahun 70-an, beras tidak gampang dicari, pendapatan yang pas-pasan, dengan jumlah anak yang banyak, maka konsekuensinya ya harus berjuang untuk mempertahankan hidup keluarga tetap dalam rel yang benar.
Teringat olehku bagaimana usaha ibuku untuk mengusahakan agar kuali (tempayan dari tanah liat) tetap diatas pawon. Beliau pinjam kepada temannya yang juragan beras beberapa puluh kg beras yang ampeg baunya, untuk dimasak harus dicuci berulang-ulang lebih dahulu diberi pandan ketika menanak agar dapat menetralisir bau apeg.
Suasa saat ganti ke bulgur yang berwarna coklat tua kata orang itu pakan kuda di AS, ketika sudah dimasak menjadi mekar. Suatu waktu ganti lagi dengan nasi jagung, nah disini perjuangan sungguh berat, sore sebelumnya nyosoh memisahkan jagung yang baik dari yang jelek dan kotoran yang mungkin terbawa, malam harinya mencuci sampai bersih terus dikum (direndam dalam air) pagi hari pukul 04.00 ibuku sudah bangun ndeplok (menumbuk) jagung dibantu oleh ayahku sementara aku bersama saudara-saudaraku masih tidur.
Hasil dari deplokan dibagi tiga: meniran, jagung halus, dan sisa; meniran disimpan, jagung halusan didang/dimasak dengan kukusan yang terbuat dari anyaman bambu di atas bara api dari kulit jati, sedang sisa masih dapat dimasak menjadi bongko jagung.
Biasanya ketika masih karon sudah dapat dimakan.
Sesudah saudara-saudaraku sarapan dan pergi sekolah, ibuku pergi ke pasar ledok untuk beli sayur dengan uang cumpen, memasak sendiri untuk 10 anggota keluarga.
Sekitar pukul 11.00 ibuku dengan membawa payung berjalan kaki dari rumah menuju ke tempat kerjanya sebagai guru SD di SD Kranggan Tuban. Pukul 04 sore beliau kondur juga dengan jalan kaki. Demikian setiap hari ibuku bekerja di rumah dan di sekolah berjuang untuk masa depan anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar